• #1-2017

    8039eda5be7be161cca229c18d4d1352

    It’s about life, it’s about future, they said.
    sementara itu aku mengepak barang-barangku; tasku dan seluruh jubah yang ada di lemari; kemudian berjalan dari luar ruangan, kembali ke jalanan.
    aku menghembuskan nafas panjang dan berusaha melacak kembali apa saja yang terjadi padaku di setengah tahun ini.
    setengah tahun pertama dari tahun 2017.
    setengah tahun yang tak terasa telah membolak-balikkan keadaan dalam rentang waktu yang singkat, tanpa tanda, tanpa sinyal apapun yang membuatku bisa bersiap menghadapi badai-badai yang direncanakan tuhan untukku.
    ini perjalanan, seperti mereka bilang, dan seperti apa yang sudah seringkali kukatakan pada diriku sendiri.
    tapi perjalanan seringkali diisi dan didekap oleh desakan-dan-sesakan hal-hal yang membaui udara, membuat pengap di nafas.
    aku terus berjalan gontai, berusaha mempercayai arah langkahku akan membawaku pada suatu titik yang lebih baik nantinya.
    menggiring tas dan jubah-jubah adalah pekerjaan yang tak mudah di tengah hawa panas yang menyengat tapi kemudian hujan bisa saja turun tiba-tiba tanpa ada rencana.

    sekelilingku dipenuhi kendaraan lalu-lalang yang membunyikan klakson-klakson dan terus saja saling memaki karena himpitan jalan yang semakin menyempit, mereka bilang. tanpa pernah sadar bahwa jalanan tak menyempit (hei, bung!), tapi dirinyalah yang terus melipatgandakan sejarah klakson yang menggema di ruang-ruang sudut bangunan dan rumah di kota dan di desa.

    aku duduk. diam. dan tak pernah berusaha menengok ke belakang. entah sudah berapa langkah yang kujejakkan untuk kemudian aku menghela napas sebentar, dan kemudian berjalan lagi.

    ini sudah tak bisa lagi dihentikan. aku terekam dalam gilingan roda yang terus berputar entah sampai mana, entah sampai kapan.
    aku sedang tak berusaha ingin menerkanya. jika saja tak ada tuan puan yang berusah mengendalikan laju roda, maka kupikir tak ada lagi yang perlu dikendalikan.
    biarlah dia begitu saja.

    Andai saja semuanya sudah dapat dibayangkan sebelumnya. sedangkan kini aku berakhir di sebuah meja kecil dengan sebutan “gemini girl”, katanya kepadaku.
    tapi aku mengingat kembali setengah tahun yang jahanam dalam hidupku.
    jahanam? mungkin iya. tapi juga mungkin tidak tepat. aku tak pernah bisa mengetahuinya. bukankah tuhan selalu mengirimkan jawaban dari sebuah misteri di belakang akhir halaman?
    jika saja semuanya bsa dibayangkan sebelumnya.
    maka tak ada seruan-seruan yang bisa diteriakkan, bukan?
    aku tak memaki tuhan, tentu saja. tak seperti aku sedang merutuk nama-nama yang membuatku kesal dan menjejalkan mereka dalam rapal mantra yang tak ingin kusebutkan supaya ia tak menjadi benar atau nyata.
    ya, biar saja semuanya mengalir dalam roda. begitukah katamu?
    aku mengingat ada guguran bunga kuning di jalanan. tapi juga mengingat lagu-lagu mendayu tentang ruang-ruang tersembunyi dan tertutup dan menyanyikan lagu di dalamnya. kita tak lagi berdansa di ruangan, bukan?

    ibuku terbaring lemah di saat itu. dan tak kuketahui di mana aku bisa mencari kekuatan untung menopang apa yang sedang terjadi dalam gledek roda menuju ruang operasi.
    tuhan besertamu dan besertamu juga. itu saja yang kuingat. yang mampu meluluhkan hatiku sepulangku dari timur. aku tak menduganya. tak pernah menduganya.
    sehingga ketika ia datang kembali dalam bentuk tuhan yesus maupun bunda maria, atau allah yang esa, akü hanya ingn berdoa. mungkin berharap tak pernah ada ketidak tulusan menyertai di dalam setiap langkah kita. maka, tuhan besertamu, dan besertamu juga.

    ini tak dapat lagi dihentikan. tak lagi bisa. begitu katamu. tapi aku juga tak sedang menghentikannya. begitupun udara sesak yang terus memenuhi ruang hampa di sudut-sudut kota.
    ah, pengulangan yang sesekali adalah terus saja menjadi pengulangan berulang kali.
    kamu di mana?
    aku tak tahu.
    sedangkan aku tak pernah berhenti. terus saja berjalan menggeret tas-tas dan jubah-jubahku. untung saja kali ini tak ada topeng-topeng yang perlu dibawa, atau dikenakan. mungkin lelah. mungkin sudah lelah.
    maka, kamu ada di mana?aku tidak tahu.

    ini terus saja tak dapat dihentikan. gelinding rodanya terus melaju seperti aku tak dapat menghentikan ingatanku mengalir membelah jalan-jalan di bali menuju ubud. aku tak tahu ia akan berujung ke mana. tapi ubud? bukankah ada seribu monyet di sana? sementara ada perhelatan besar di ujung roda, tak ada lagi yang bisa dihentikan sekarang. tak ada yang bisa. maka ia telah menghilangkan senyuman palsu dari seribu wajah-wajah seok di jalanan. jangan berhenti. jangan pernah berhenti. tas-tas semakin membesar dan jubah-jubah semakin memberat. mungkinkah hujan akan turun?
    entahlah.

    ia gegap gempita. ia gegap. menggugup gempita. menarik napas. tarik. jangan dihembuskan perlahan. dan kulit yang meregang dari bulu-bulu dan pori-pori yang terus membengkak. ini tak dapat lagi dihentikan. buat apa dihentikan. tak bisa lagi dihentikan. aku menyerah? benarkah?
    maka kamu ada di sana? aku tak tahu. aku hanya terus berjalan mengejamkan kata-kata dan aku tak bisa lagi berhenti. buat apa berhenti. lalu ke mana? aku tak tahu.

    jeda.

    panjang.

    hampir saja berhenti di dalam kegelapan. tersesat. tapi aku terus berjalan. buat apa berhenti?
    tak bisa lagi dihentikan.

    menghitung kata. supaya kembali sadar. ada regang kulit yang seperti ingin melepaskan diri.

    berhenti.

    jeda.

    bercakap.
    aku memintanya bersuara, supaya aku tak tersesat.

    mungkin cukup dulu untuk sementara. aku tak boleh lagi tersesat.

  • Musik dan Percakapan: Meet The Labels 2014

    The true beauty of music is that it connects people. It carries a message, and we, the musicians, are the messengers.

    Roy Ayers

    Kalau musik seringkali disebut sebagai bahasa universal, menurut saya salah satunya juga karena dengan musik kamu akan bisa memulai percakapan baru meski dengan orang yang enggak kamu kenal sekalipun. Dan jika kamu musisi, dengan membuat musik dan lagumu sendiri, kamu sedang menceritakan sesuatu sembari secara tidak langsung memperkenalkan karakter dirimu sebagai si “pembawa pesan” pada dunia luarmu. Ini yang muncul dalam pikiran saya ketika saya ada di House of Balcony petang kemarin sambil menonton jam session para finalis Meet The Label 2014. Entah kenapa, di bagian acara jam session ini menurut saya justru menjadi momen percakapan terbaik yang dilakukan peserta untuk saling berkenalan-memperkenalkan diri, dan bercakap-cakap lewat musik mereka.

  • Demi Hari Blogger Nasional, ‘man!

    Dari tadi sore saya nongkrong di kafe Awor, Yap Square, Jogja. Sekarang pukul 8 malam. Dan saya nongkrong dari pukul 4 sore. Tadinya, saya mau duduk, buka laptop, minum kopi ( saya baru-baru saja jadi peminum kopi. Tentang ini, nanti ada ceritanya sendiri deh ya), menulis untuk blog, memindah foto dari kamera ke laptop, kemudian mengaplod foto-foto itu. Intinya, nongkrong sambil intensif bekerja produktif. Hal yang sudah lama tidak saya lakukan sejak saya menyelesaikan skripsi saya 3 tahun lalu.

    Kemudian, hal yang terjadi dalam 4 jam ini adalah saya bertemu dan ngobrol bergiliran pun bersamaan dengan 4 orang yang berbeda. Macak ngendon dan bergiliran didatangi klien-klien. *halah*

    Orang pertama yang jadi teman kencan saya adalah Utied. Awalnya saya sebenernya cuma tanya kafe mana yang enak buat nongkrong, dengan syarat: tempat duduknya enak, internetnya oke, dan menunya oke. Syarat yang spesifik. :D Saran pertama ada di Lokal dan Black Canyon. Terus saya ngajakin dia ikut nongkrong. Doski (doskiiiii) ngajak ke Excelso, yang mana saya lagi enggak mampu buat jajan jajan di sana. Mahal dan akhir bulan je. Maka terdamparlah kami di Awor. Saya bukan anak nongkrong. Lama ndak jadi anak nongkronglah pokoknya. Sama Utied ini cuma ngobrol dikiiiiit meskipun kami dua makhluk yang lama nggak ketemu. Utied cerita bakal jadi pembicara di acara Pinasthika  tanggal 31 ini dengan tema komunitas (online) bersama Ardhi, bapak komunitas di Jogja. Sayangnya saya enggak bisa datang, rencananya sih tanggal segitu saya mau meninggalkan Jogja dulu sementara, ke ibukota. Selain obrolan itu, selebihnya kami sibuk sendiri-sendiri. Dasar anak jaman sekarang, sibuk sama gadget dan laptopnya padahal lagi duduk barengan. Hahaha… Eh, tapi, saya seneng ketemu sama Utied tadi. Semacam ada perasaan senang karena ada yang menemani meskipun tanpa banyak ngobrol *^^* Terima kasih Utieeed!

  • Tentang Pemilu Kali ini: Terlibatlah!

    Tak ada yang tahu tentang apa pertaruhan kali ini.

    Akankah semuanya akan menjadi kericuhan tak berujung ketika hasil diumumkan?

    Turunlah gunung, supaya kamu bisa melihat seluruh prosesnya. Kali ini, kamu tak bisa hanya melihat dari kejauhan. Proses-prosesnya terlalu tersembunyi, terselubung, dan kecil, untuk diamati dari kejauhan. Tak ada yang lebih pasti dari setiap pilihan, kecuali kamu memilih dan menjalankannya. Maka, dari sanalah kamu akan tahu kebenarannya. Meskipun mungkin, ternyata, kamu menemukan kebenarannya adalah yang kau pilih ternyata pilihan yang tidak tepat.

    Tapi terlibatlah. Hadapilah. Bersama berjuta orang lainnya. Karena jikapun kamu salah, maka kita semua yang akan menanggung beban perbaikannya. Bersama. Sebagai rakyat Indonesia

  • …#StoryofSa: Mimpi yang Berakhir…

    A way to memorize you, Sa….

    four years after you gone…

    Finally,

    I let them read it…

    -She-

    Pukul 03.16. Sudah pagi. Dan aku masih belum juga terlelap. Terjaga dalam gelap ruangan yang menyelimuti. Mataku terasa silau terkena cahaya layar komputer yang masih tetap menyala di depan wajah dan tubuhku yang telanjang.

    Di belakangku, terbaring sebuah sosok tubuh lelaki. Lelaki jagoan yang sedang menikmati tiap hembusan dengkur halus dalam nyenyak mimpinya. Mungkin terlalu lelah. Atau tengah merasakan rileksnya tubuh setelah melepaskan hormon-hormon endorfin dari pergulatan yang kami lakukan tadi. Dan dia terus terlelap.

    Mataku menerawang jauh seolah berusaha menembus layar di hadapanku. Berusaha mencari kepingan-kepingan yang tercerai dari seluruh kumpulannya, yang dengan susah payah kurekatkan kembali dengan lem-lem perekat ingatan.

    Tiba-tiba saja seluruh otakku terpaku dalam gambaran-gambaran yang tak berhenti berputar. Tubuhku seperti mengejang kaku menahan perih dan tangis yang tak dapat keluar sebagai tangis. Terdiam. Tak lagi menantang cahaya layar yang menyilaukan, kutekuk kepalaku dalam benaman di antara kedua lutut yang mengapit.

    Kuberanikan sedikit demi sedikit untuk menengadah. Menarik napas panjang tanpa suara. Perlahan menuliskan huruf demi huruf ke dalam layar. Jari-jariku berhenti sejenak. Mencoba merangkai seluruh kata yang mengamuk dalam kepala.

    *

    Dan mimpi pun berakhir.

     Aku hanya mampu duduk terpekur di samping sebuah tanah merah yang masih basah. Dalam diam tanpa tangis, memandang dengan tatapan kosong, sambil membelai halus bunga-bunga yang tertabur di atas tanah itu.

    Mencoba mengingat. Membuka lipatan-lipatan memori di dalam kepala. Ada yang tak biasa yang kurasakan dalam detak yang tak beraturan. Mencoba terus bertahan menggali seluruh pendaman kenangan tentangmu, yang telah menyatu dalam gundukan tanah merah itu.

    Aku melihatmu dalam balutan segala peralatan itu. Di perkenalan pertama kita, semua terjadi hanya dalam kebisuanmu yang tak lagi dapat membuka mata. Hanya suara mesin yang berdetak, menjadi penanda bahwa jiwamu masih di sana, di dalam tubuhmu.

    Tak kudengar sepatah kata pun tersuarakan, kecuali dari suaraku sendiri yang terus menerus membisikkan doa-doa di sampingmu, di dekat telinga yang membisu.

    Aku tak tahu harus bercerita pada siapa tentang rindu dan pedih ini. Rindu padamu yang tak pernah kukenal selain lewat cerita orang-orang terdekatmu. Pedih yang kurasakan karena harus bertemu denganmu dalam waktu yang kian terasa menghimpit. Waktu yang mengajak perang hatiku, yang menolak bahwa pertemuan kita hanyalah menghitung waktu mundur untuk kepergianmu selamanya.

    Ah, semua menjadi terasa aneh. Tapi pedih, sakit.

    Merindukanmu, tapi aku tahu, aku harus mengikhlaskanmu. Sama seperti orang-orang lain yang kau tinggalkan.

     

  • Musisi Keliling, Pintu Rumah, dan Jiwa yang Menyanyi

    Bonifazi, Adriano (1858-1914) – Man Singing And Playing Guitar

    Kapan terakhir kali kamu bernyanyi  karena “hanya ingin menyanyi”?

    Kapan terakhir kali kamu melakukan sesuatu hanya karena kamu ingin melakukannya?Tanpa alasan yang lain.

    Tulisan ini muncul karena siang ini saya bertemu dengan seorang pria yang memetik gitarnya di depan rumah saya yang pintunya tertutup rapat sebelum Ia sampai di depannya.

    Saya sedang berbaring menikmati televisi dan film yang sedang ditayangkannya. Kemudian saya mendengar suara orang bernyanyi di bawah sana, di luar sana. Di menit-menit pertama, saya tak acuh. Saya tahu pintu rumah tertutup rapat, yang bagi banyak orang bisa diartikan bahwa rumah sedang tidak berpenghuni. Ide itu membuat saya yakin bahwa suara nyanyian itu tidak mungkin ada di depan pintu rumah saya.

    Di menit berikutnya, saya mulai mendengarkan suara itu dengan lebih seksama. Selain karena perasaan heran bahwa pemilik suara itu belum berhenti bernyanyi, saya kemudian sadar bahwa si empu suara ini cukup baik menyanyikan lagu yang ia lantunkan dengan gitar yang dipetiknya. Saya mulai menikmatinya.

    Saya selalu (ah, ralat, mari kita sebut saja: “biasanya”) membedakan musisi keliling dalam dua kategori. Pertama, mereka yang menganggap musik dan lagu hanya sekedar alat untuk mendapatkan uang. Mereka tidak akan pernah peduli pilihan lagu yang mereka nyanyikan, atau seberapa menyebalkannya cara mereka memainkan alat musik yang lebih terlihat enggak niat daripada enggak mahir. Mereka yang berada dalam kategori ini, biasanya mlipir dan ngloyor gitu aja setelah uang menyentuh tangan mereka. Kategori kedua, tentu saja sebaliknya, mereka yang mengapresiasi menyanyi sebagai cara untuk mencari uang. Tujuannya tetap sama, mereka ingin mendapatkan nafkah, atau sekedar “uang rokok”, dengan cara menyanyi. Bedanya adalah bagaimana mereka mengapresiasi apa yang mereka lakukan dengan baik. Menyelesaikan lagu yang dinyanyikan, melantunkannya dengan iringan petikan atau genjrengan gitarnya yang meskipun sederhana dan tidak mahir, tetapi dengan cukup sungguh-sungguh. Ada sedikit niat baik di dalam cara Ia bekerja lewat nyanyian tersebut. Sehingga, bagi pemilik rumah yang mendengarkannya pun memunculkan peng-apresiasi-an yang lebih baik. Iya nggak, sih? 

  • …Tarian pada Bintang…

     

     

     

    malam tak berbulan

    sang perempuan,

    menari di atas pasir pantai,,…

    bercerita perempuan itu melalui tubuhnya,

    pada jutaan bintang yang menjadi penonton setia di malam itu.

    menjadi sebuah pertunjukan temaram.

     

    tangan sang perempuan mengayun lirih,

    mengajak para bintang bercakap, tentang sepinya, rindunya…

    mengayun kembali ia, sembari melangkah kecil, kemudian melompat,

    menghunjam pasir dengan ayunan menusuk, membelah angin.

    Bercerita perempuan itu tentang gerahnya, gelisahnya, resahnya,…

     

    setiap celoteh liukan sang perempuan,

    memeriahkan gelap.

    kerlap kerlip bintang bertepuk tangan,

    menghormat para bintang dengan melesat jatuh, jauh.

     

    perempuan itu tersenyum, menengadah,

    mengirimkan kecupan pada para bintang.

    memejam matanya sejenak, lega.

    pertunjukan malam itu, ia tutup dengan dua putaran lambaian ke dalam tubuh,

    sembari setengah membungkuk,

    menghormat ia dan tubuhnya, seperti seorang bangsawan,

    kepada setiap kerlip di langit.

     

    dan bintang-bintang pun balik tersenyum.

    riuh, ia meledakkan kembang api bintang yang berjatuhan.

    melepas sang putri penari, dan kembali berjaga….

     

    *tertulis: 26 August ’11

     ** foto dari sini :)

  • …Kilas Balik 2011: A New Year After the Eruption…

    Tahun 2011 buat saya tentu saja diawali dengan pergantian tahun, dari tahun 2010 menuju tahun 2011. Pergantian tahun kali itu, saya, entah kenapa, tidak tertarik untuk berhingar bingar. Mungkin karena pada masa itu, masih dalam masa-masa pasca (dan masih) tanggap bencana letusan Gunung Merapi. Seperti yang diketahui, bahwa pada akhir tahun 2010 daerah Jogja dan sekitarnya mengalami hiruk pikuk karena Gunung Merapi yang sedang punya “gawe” di atas sana. “Acara” nya Simbah Merapi kali ini memang cukup besar dan lama daripada beberapa kali “gawe” yang pernah ada sebelumnya. Tercatat, korban meninggal mencapai angka 100 orang. Bahkan, Mbah Marijan yang menjadi juru kunci pun akhirnya menyelesaikan abdi terakhirnya pada letusan kali ini.

    Pasca letusan mereda, kesiagaan berikutnya disiapkan untuk menghadapi arus banjir lahar dingin. Besarnya gawe simbah merapi ini menghasilkan luapan material yang memang luar biasa. Bahkan sungai yang tadinya lebar dan cukup berjarak kedalamannya dari tebing sungai, berubah menjadi sebuah dataran material vulkanik. Saya sempat ikut wora wiri ikut-ikut membantu distribusi bantuan untuk para korban letusan dan korban lahar dingin bersama dengan beberapa komunitas. Ada komunitas dari temen-temen online (twitter, blogger, dan lainnya). Juga  dengan temen-temen dari Gelanggang UGM yang akhirnya saya bergabung ketika banjir lahar dingin menyerbu kawasan Code.

    Beberapa hari menjelang pergantian tahun menuju 2011, saya belum memutuskan mau ke mana buat tahun baruan. Takutnya nanti udah terlanjur janji tahun baruan sama yang lain, tiba-tiba saya beride mau ke mana dan jadi harus batalin janji. Ya ya ya, saya memang tipe yang suka mendadak spontan impulsif gitu, ditambah lagi suka berubah-ubah pikiran, dan bingungan. :D

    Semakin deket ganti hari, semakin bingung mau ngapain. Ada dua ajakan yang menarik. Naik gunung Lawu tanggal 1 paginya, atau tahun baru di sebuah dusun Stabelan di 3km dari puncak merapi bareng temen-temen dari Tlatah Bocah. Berbekal kenekadan pribadi dan keyakinan yang semena-mena, akhirnya saya memutuskan untuk berangkat naik ke Stabelan tanggal 31 siang, dan berencana turun setelah tengah malam pergantian jam ke 2011, lanjut besok paginya naik ke gunug Lawu. Persiapan bawaan di carrier udah disiapin buat naik Lawu juga. Hahaha. Gak mau rugi pokoknya. Saya naik motor berdua dengan temen saya, menempuh jarak Jogja-Muntilan-Stabelan. Selama perjalanan saya milih buat ada di depan, yang bawa motornya. Dan temen saya yang notabene cowok ini, namanya Niam, berpasrah diri duduk di boncengan.

     

    …para pemuda mendirikan layar tancep…

    Perjalanan menuju Stabelan adalah luar biasa. Menemukan jejak-jejak sisa kejadian letusan Merapi yang sangat menonjol. Tumpukan abu yang tebalnya menutupi persawahan, menebalkan jalanan yang naik turun, dan menyelimuti daun-daun. Benar-benar masih kentara bagaimana besarnya kekuatan simbah Merapi. Sampai di dusun Stabelan sudah cukup gelap. Saya dan Niam sebenarnya enggak tau di mana tepatnya acara ini diselenggarakan. Kita berdua cuman berbekal kepedean berlebih, cari-cari keramaian. Hihihi… Akhirnya sampailah kami di rumah bapak dukuh. Acara belum dimulai, pun kami adalah tamu pertama dari luar kota sepertinya, beberapa menit sebelum rombongan mobil dan motor mulai berdatangan dari Jogja, Magelang, dan kota-kota sekitarnya yang lain. Persiapan dimulai dengan mendirikan layar tancep, untuk nonton filem dokumenter masa-masa rescue ketika Gunung Merapi meletus.

    Selain acara senang-senang, ada juga seremoni yang isinya adalah doa-doa yang dipimpin oleh seorang yang dipercaya sebagai tetua di dusun tersebut,  disertai potong ingkung ayam dengan nasi jagung. Sang pemimpin doa menyalakan api dalam batok yang isinya berbau seperti kemenyan, kemudian lampu dimatikan. Dalam terang api kecil dari batok itulah, sang pemimpin doa menggumamkan doa-doa yang intinya memohon keselamatan pada sang empunya alam, terutama berkaitan dengan ‘gawe’ sang simbah Merapi. Setelah mantra doa selesai dirapalkan, dipotonglah ingkung yang sangat besar dan pembagian nasi jagung kepada hadirin yang ada di tempat tersebut.

    Seremoni lainnya adalah sebuah tarian yang dipersembahkan pada Gunung Merapi, bercerita tentang kejadian-kejadian di gunung. Dengan penerangan obor, penari-penari menggeliatkan tubuhnya mengitari sebuah gundukan tanah yang sudah dibentuk sedemikian rupa menyerupai gunung. Para tamu dan penduduk sekitar dipersilahkan ikut menari di akhir tarian tersebut. Dinginnya malam, dekatnya gunung, nyala obor, membuat tarian ini tampak mistis bagi saya, sekaligus sangat menarik hati untuk ikut meliukkan tubuh. Sayangnya, saya cukup malu saat itu untuk ikut bergabung menari.

    Hehehe…Acara malam itu menyenangkan sekali bagi saya. Melihat penduduk berjubelan datang dan berkumpul bersama, menikmati kesenian tarian diiringi gamelan dari bapak-bapak yang bahkan sudah sepuh beberapa diantaranya, juga menonton layar tancep. Seru, ih.

    Selesai seluruh rangkaian acara, tamu yang akan menginap dipersilahkan untuk “klekaran” sesuka hati di rumah pak dukuh yang sekaligus jadi pos dan venue acara. Tapi ada juga api unggun yang sudah disiapkan bagi mereka yang ingin menghangatkan tubuh, juga sambil bercengkerama dalam dinginnya gunung. Suasana kehangatan nampak sekali. Saya sempat berkenalan dengan beberapa teman baru yang ternyata juga datang dari Jogja. Ditemani teh hangat dan cemilan kami mengobrol hingga tengah malam, semakin merapat pada api unggun yang menjadi satu-satunya sumber panas malam itu.

    Dan….lupa sudah rencana saya untuk turun ke kota dan kembali ke jogja, supaya besok paginya bisa ikut naik ke Gunung Lawu dengan beberapa temen dari komunitas Cahandong. Ketika teringat pun, akhirnya saya memutuskan untuk bertahan hingga pagi hari. Karena kondisi medan perjalanan yang kayaknya akan sangat menyeramkan untuk melintasinya malam-malam begitu dengan naik motor. Salah-salah malah tersesat nanti.

    …hasil jalan-jalan pagi…

    Pagi hari, sebelum terang, sebelum subuh, beberapa orang termasuk saya dan Niam memutuskan untuk mulai naik ke area ladang yang berada di atas desa, dengan jalan semakin memuncak, mendekati Merapi. Melihat-lihat kondisi ladang dan jalur yang tampak berantakan terkena abu merapi. Mencoba melihat puncak merapi yang masih tertutupi awan. Dan, tentu saja mengambil foto-foto yang menarik di sana. Ah, dalam kondisi begitu, kamu akan merasakan betapa kecilnya manusia ini, dibandingkan alam semesta yang ada di seluruh jagad raya ini. Betapa manusia benar-benar harus hidup berdampingan dengan alam. Juga, betapa besar kekuasaan pemilik dunia ini.

    Maka, inilah, sebuah tahun baru penuh makna bagi saya. Juga sebuah petualangan yang menyenangkan, bersama Niam dan beberapa teman baru yang saya temui di sana. Terima kasih Stabelan, terima kasih Tlatah Bocah. Tahun baru kali ini, menuju 2012, entah saya akan ada di mana. :)

    …Tahun Baru Stabelan…New year stabelan

    Eh, gimana sama Lawu? Saya belum jadi naik ke sana. Hingga detik ini. Semoga tahun depan saya bisa ke sana. Hahahaha.

  • …#CeritaKita: Kamu dan Aku…

    Satu momen pertemuan kita kembali di persimpangan jalan itu membangkitkan semua kenangan dan rasa yang diam-diam tersembunyi jauh di dalam. Satu momen pertemuan yang hanya beberapa detik kita berkesempatan saling menatap, tersenyum, dan berbicara kata-kata. Satu momen pertemuan yang berjarak oleh meter jalanan dan roda dua di antaranya.

    Kamu…dan aku. Kita berdua adalah sebuah ikatan peristiwa yang tak diharapkan akan terjadi. Kita saling bicara melalui sebuah waktu yang tak terduga akan ada. Kita adalah sebuah percakapan yang terjalin dari kalimat awalan yang mendadak harus muncul.

     **

    Pagi beberapa bulan yang lalu. Saat itu,  kita berdua menyusuri jalanan sehabis sarapan di warung soto langganan kita. Entah mau ke mana kita akan menuju dengan perut yang sudah terisi cukup itu. Seperti biasa, kamu duduk di belakang setir, dan aku berada di sampingmu. Ya, kamu adalah tipe lelaki yang selalu tidak pernah mau diusik tentang kejantanannya untuk menyetir mobil ketika bersama perempuan. Bagimu, memegang setir adalah salah satu syarat ‘lelaki’ menjadi ‘lelaki’ di hadapan perempuan. Dan aku selalu tertawa kecil untuk itu.

    Tangan kita saling menggenggam erat. Sesekali kita saling menatap dengan senyuman dan sendu. Mungkin saat itu sebenarnya mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di benak kita: beginikah? Apakah kita memang sebaiknya tidak bertemu lagi? Apakah sebaiknya memang percakapan harus disudahi sekarang juga? Apakah kedaan akan membaik? Apakah akan semakin buruk?

    Atau, jangan-jangan saat itu kita sudah merasa bahwa memang ini adalah sebuah momen perjalanan terakhir kita.

    Sepanjang jalan, kita berbicara tentang aku dan kamu. Kamu berbicara padaku, bahwa kamu menemukan dirimu yang menjadi sedikit berperasaan manusia lagi. Bersamaku, kamu merasa bahwa ternyata kamu tak benar-benar telah berubah menjadi monster sepenuhnya. Seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bahwa kamu tak lagi memilih untuk berperasaan. Kamu menjalani hidup dengan bekerja dan bersenang-senang. Dengan kedua hal itu, kamu tak lagi memberi kesempatan untuk dirimu merasakan sakit ataupun sedih. Dan kini, kamu bisa merasakan hatimu lagi.

    Kita terus saling menggenggam hangat. Aku tersenyum mendengarkanmu. Lalu, aku ganti berbicara padamu, bagaimana semua ini tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku bercerita mengenai keadaan yang tak lagi berpihak padaku, bagaimana aku merasa berada di sisi yang bersalah bagi semuanya yang melihat percakapan kita. Bagaimana aku berharap keadaan akan membaik untuk semuanya. Bagaimana aku menyayangi dan selalu ingin menjaga sosok seseorang di masa lalumu. Dan kataku berujung pada kebingunganku sendiri. Entahlah. Aku terdiam. Namun hatiku terus berbicara, mengungkapkan segala pengakuan bahwa aku telah menjadi lebih baik ketika bersamamu. Bagiku, kebersamaan kita membuat kita belajar untuk menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri, dan terhadap satu sama lain.

    Kendaraan kita membelok di jalan kecil menuju tempatmu tinggal. Kali ini kamu tak  mengarahkannya menuju halaman, namun berhenti di depannya. Tanganmu mempererat genggamannya. Sebuah pelukan erat dan tak ingin terlepas menyusul kemudian. Sepintas, aku seperti melihat matamu yang berkaca-kaca, juga raut wajahmu yang surut dalam luka dan duka. Namun kamu berhasil dengan gesit menyembunyikannya, menggantinya dengan tawa dan canda. Seperti biasa, kamu mengalihkan semua duniamu dalam rasa ‘senang’.

    Aku mengambil alih kemudi mobil. Kulambaikan tanganmu meninggalkanmu, seolah hari akan berjalan biasa, dan kita akan bertemu lagi malam nanti atau esok hari. Namun tidak, kita tak pernah lagi bertemu setelahnya. Yang kuingat hanyalah pelukan hangat itu sebagai penanda terakhir dari pertemuan kita.

     ——–

    Aku, adalah seorang kurir yang bertugas mengantarkan barang dan menyampaikan pesan kpadamu. Sebuah pesan telah tertulis untukmu kala itu, dan harus segera disampaikan. Di kala itu, aku juga adalah seorang kepercayaan yang bertugas untuk menjaga dan melindungimu dari segala perih yang mungkin akan melandamu. Aku bertugas menjadi temanmu. Aku bagi diriku sendiri saat itu adalah seorang perempuan yang sedang berusaha keras melindungi hatiku dari segala cemas dan badai peristiwa yang menimpaku. Aku adalah perempuan yang berdiri kokoh untuk menyembunyikan rapuhnya diriku saat itu. Dan aku adalah perempuan yang tetap tertawa dan menjalankan tugasku sebagai kurir dengan pasti, tanpa harus membicarakan keluh dan kesahku. Aku bertemu kembali denganmu, dengan segala pesan dan benda yang kubawa untukmu, di saat aku sedang berpayah-payah melindungi diriku sendiri, menyimpan ceritaku untuk kudengarkan sendiri. Dan kamu, mengetahui kepayahanku tanpa aku bercerita padamu. Kamu seperti menjelma menjadi kakak lelaki pelindung yang selalu kuimpikan sejak kecil. Namun makna kehadiranmu bagiku kemudian terus berkembang.

    Kamu, adalah seorang lelaki yang kepadamu harus kuserahkan kembali beberapa benda milikmu dari seseorang di masa lalumu. Kamu adalah seseorang yang aku ditugaskan untuk menjadi teman bercakapmu, supaya kamu merasa lebih baik. Padahal mungkin kamu sendiri merasa baik-baik saja. Kamu di kala itu, sedang menikmati kehidupanmu yang kau ciptakan setelah momen peristiwa masa lalumu yang meruntuhkanmu dengannya. Kamu bangkit, dengan segala baik dan burukmu. Masa lalumu yang mengantarkanku ke hadapanmu. Kamu kala itu, terus saja tertawa dan mengajarkanku untuk ikut tertawa juga di antara rasa pedih yang diam-diam sedang menyelubungiku. Menertawakan hidup dan menghidupkan hidup dengan segala cara pandang penuh semangat tawa. Bagiku kala itu, kamu adalah kakak lelakiku seperti peranmu yang selama ini sebelumnya ada. Dan bagimu kala itu, aku adalah seorang adik yang harus kamu jaga. Namun, makna kehadiranku bagimu pun kemudian terus berkembang.

     **

    Kita adalah percakapan.

    Percakapan yang terjalin dari masa lalumu dan masa kiniku.

    Percakapan yang membangkitkan segala rasa dan usaha untuk menjadi lebih baik.

    Percakapan yang harus dibatasi untuk menjaga tempat kita berdiri agar tak terlewat batas.

    Percakapan yang harus diakhiri dengan apapun perasaan yang tercipta dan tumbuh di dalamnya.

    …..tersenyum menangis ketika bercakap tentangmu, masih saja…..

    Sherpy, 02.12.11

  • …a letter for you, Mami…

    Sebenarnya tidak terlalu ingin menuliskannya di sini.
    Tapi, biarlah…semoga kalian bisa memahami perasaan ini. :)

     

     
    “Aku tidak menangis ketika roda mobilku berhenti di parkiran rumah sakit.
    Aku tidak menangis ketika kakiku berlari menembus lorong rumah sakit tak sabar menemuimu.
    Aku tidak menangis ketika langkahku memasuki ruang kamarmu, dan melihat tubuhmu sudah tertutupi selimut hingga kepala.
     
    Aku hanya menangis kebingungan, ketika sebuah telepon di subuh hari, dari seorang sahabat, mengabarkan kepergianmu.
    Aku hanya menangis dalam sujud subuhku, sebelum aku menemuimu, segera.
    Aku sedikit menangis ketika roda mobilku menyusuri jalanan setelah subuh menuju rumah sakit.
    Aku sedikit menangis di sebuah perempatan jalan menuju rumah sebentar, sembari menunggu lampu menjadi hijau.
    Aku menahan tangisku yang sedikit keluar, ketika melihat jenazahmu disemayamkan di tanah kubur.
     
    Dan selebihnya,
    Aku tersenyum.
    Aku tersenyum kepadamu yang tak lagi bisa melihatku.
    Aku tersenyum berusaha menenangkan kerabatmu, Mi, yang terisak menangisi kepergianmu.
    Aku tersenyum memandanmu yang dimandikan di atas batangan-batangan pisang.
    Aku tersenyum melihat jasadmu tertutupi batik.
    Aku tersenyum membelai nisan kayumu di pemakaman.
    Aku tersenyum, ikhlas, melepas Mami, dan gak mau perjalanan Mami jadi berat, dengan tangisanku.
    Aku tersenyum, karena Mami gak akan menahan sakit lagi.
     
    Sore ini, aku tidur sebentar, Mi.
     
    Dan sore ini,,
    aku menangis hebat.
    semua gambar tentang mu bermunculan, Mi.
    Dari mulai awal aku mulai mengenalmu, di kantin, dengan semua keriwilan Mami,
    dengan semua wejangan Mami, gojegan Mami, saru ne Mami, es tomat Mami,
    Mami yang baru selesai solat di mushola, mami yang lagi tiduran di bangku panjang kantin,
    Mami yang gak pernah mau kalo kami-kami ini bayar jajanan kami.
    …Piye to Mi…wong dodolan kok ra gelem dibayar kie lhooo..
     
    Sampe Mami sakit, tapi masih bisa jualan di kantin,
    Mami tambah sakit, dan cuman bisa di rumah.
     
    Sore ini aku nangis sesenggukan,
    Semua penyesalan tiba-tiba mendesak keluar, Mi.
    Hari itu, aku malah gak sempet bersujud di kakimu, Mi,
    Malam terakhir aku masih bisa ada di deket Mami,
    aku malah gak pernah meluk Mami sekalipun.
     
    Kalo tau malam itu, malem terakhir aku bisa sama Mami, aku pasti bakal meluk Mami.
    Aku pasti berusaha ngajak Mami cerita-cerita sing bisa bikin Mami seneng,
    meskipun mungkin Mami terlalu kesakitan buat senyum atau ketawa.
    Aku pasti bakal nemenin Mami di ruang IGD.
    Paling nggak, buat terakhir kali memandangimu lama, tersenyum, membelaimu,  atau memijitmu.
    Aku pasti berlama-lama, dan mencium keningmu, tidak hanya sekedar mencium tanganmu ketika pamit pulang.
     
    Kalo tau secepet itu Mami akan pergi,
    aku pasti bakal ajak semua anak-anak Mami yang di Jogja, buat dateng nemenin Mami.
    Aku pasti lebih sering dateng ke rumah Mami, nemenin Mami,
    ngabisin waktu sama Mami.
     
    Maafin aku Mi, yg selalu gak bisa ngomong banyak di telepon,
    kalo Mami tiba-tiba nelpon aku karna kesepian sendirian di rumah, gak bisa kemana-mana.
    Maafin aku ya Mi, yang malah gak dateng ke rumah, nemenin Mami, ketika Mami ngerasa kesepian.
    Maafin aku Mi, yg mungkin masih belum bisa menuhin omongan-omongan Mami,
    yang bahkan mungkin aku udah lupa apa aja yg terlewatkan buat dipenuhin.
     
     
    Aku bahagia melihat Mami bisa ketawa,
    dan sedikit seneng-seneng di hari peringatan ulang tahun perkawinan Mami sama Babe.
    Aku bersyukur, bisa liat Mami yg hari itu sangat cantik,
    terharu dikelilingi anak-anaknya yang merayakanmu dan Babe, ‘nikah lagi’.
    Dan aku ikhlas, bersyukur, Mami udah gak kesakitan lagi sekarang.
     
    Istirahat yang damai ya Mami,
    aku cuman bisa menjalankan tugasku sebagai anak Mami,
    semoga aku cukup bisa jadi anak sholeh,
    supaya bisa doain Mami dengan baik,
    supaya amalan pahala buat Mami insyaallah bisa terus mengalir.
     
    Istirahat yang damai Mi,,
    karena kami semua selalu menyayangimu,
    dalam hati kami yang paling dalam.
    Love you, Mi…
     
    terima kasih buat semua yang pernah Mami berikan buat kami,
    bekal hidup lewat wejangan, omelan, riwilan,….
    pelajaran hidup tentang ketabahan, kesabaran, keikhlasan….
     
     
    Innalillahi wa innailaihi rajiuun,….
    Allahumma figrlaha warhamha wa’afiha wangfunganha…
    Allahumma latahrimna ajroha, walataftinna ba’daha, waghfirlana, wallaha…
     
    12 Agustus 2011.
    Satu hari sebelum 7 hari peringatan kepergianmu.
    Love you, always…
    Anakmu, Mi.
    Sita.”
     
    Sekarang, kami semua, mencoba terus tersenyum,
    tentangmu.