berbagi kata

…#CeritaKita: Kamu dan Aku…

Satu momen pertemuan kita kembali di persimpangan jalan itu membangkitkan semua kenangan dan rasa yang diam-diam tersembunyi jauh di dalam. Satu momen pertemuan yang hanya beberapa detik kita berkesempatan saling menatap, tersenyum, dan berbicara kata-kata. Satu momen pertemuan yang berjarak oleh meter jalanan dan roda dua di antaranya.

Kamu…dan aku. Kita berdua adalah sebuah ikatan peristiwa yang tak diharapkan akan terjadi. Kita saling bicara melalui sebuah waktu yang tak terduga akan ada. Kita adalah sebuah percakapan yang terjalin dari kalimat awalan yang mendadak harus muncul.

 **

Pagi beberapa bulan yang lalu. Saat itu,  kita berdua menyusuri jalanan sehabis sarapan di warung soto langganan kita. Entah mau ke mana kita akan menuju dengan perut yang sudah terisi cukup itu. Seperti biasa, kamu duduk di belakang setir, dan aku berada di sampingmu. Ya, kamu adalah tipe lelaki yang selalu tidak pernah mau diusik tentang kejantanannya untuk menyetir mobil ketika bersama perempuan. Bagimu, memegang setir adalah salah satu syarat ‘lelaki’ menjadi ‘lelaki’ di hadapan perempuan. Dan aku selalu tertawa kecil untuk itu.

Tangan kita saling menggenggam erat. Sesekali kita saling menatap dengan senyuman dan sendu. Mungkin saat itu sebenarnya mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di benak kita: beginikah? Apakah kita memang sebaiknya tidak bertemu lagi? Apakah sebaiknya memang percakapan harus disudahi sekarang juga? Apakah kedaan akan membaik? Apakah akan semakin buruk?

Atau, jangan-jangan saat itu kita sudah merasa bahwa memang ini adalah sebuah momen perjalanan terakhir kita.

Sepanjang jalan, kita berbicara tentang aku dan kamu. Kamu berbicara padaku, bahwa kamu menemukan dirimu yang menjadi sedikit berperasaan manusia lagi. Bersamaku, kamu merasa bahwa ternyata kamu tak benar-benar telah berubah menjadi monster sepenuhnya. Seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bahwa kamu tak lagi memilih untuk berperasaan. Kamu menjalani hidup dengan bekerja dan bersenang-senang. Dengan kedua hal itu, kamu tak lagi memberi kesempatan untuk dirimu merasakan sakit ataupun sedih. Dan kini, kamu bisa merasakan hatimu lagi.

Kita terus saling menggenggam hangat. Aku tersenyum mendengarkanmu. Lalu, aku ganti berbicara padamu, bagaimana semua ini tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku bercerita mengenai keadaan yang tak lagi berpihak padaku, bagaimana aku merasa berada di sisi yang bersalah bagi semuanya yang melihat percakapan kita. Bagaimana aku berharap keadaan akan membaik untuk semuanya. Bagaimana aku menyayangi dan selalu ingin menjaga sosok seseorang di masa lalumu. Dan kataku berujung pada kebingunganku sendiri. Entahlah. Aku terdiam. Namun hatiku terus berbicara, mengungkapkan segala pengakuan bahwa aku telah menjadi lebih baik ketika bersamamu. Bagiku, kebersamaan kita membuat kita belajar untuk menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri, dan terhadap satu sama lain.

Kendaraan kita membelok di jalan kecil menuju tempatmu tinggal. Kali ini kamu tak  mengarahkannya menuju halaman, namun berhenti di depannya. Tanganmu mempererat genggamannya. Sebuah pelukan erat dan tak ingin terlepas menyusul kemudian. Sepintas, aku seperti melihat matamu yang berkaca-kaca, juga raut wajahmu yang surut dalam luka dan duka. Namun kamu berhasil dengan gesit menyembunyikannya, menggantinya dengan tawa dan canda. Seperti biasa, kamu mengalihkan semua duniamu dalam rasa ‘senang’.

Aku mengambil alih kemudi mobil. Kulambaikan tanganmu meninggalkanmu, seolah hari akan berjalan biasa, dan kita akan bertemu lagi malam nanti atau esok hari. Namun tidak, kita tak pernah lagi bertemu setelahnya. Yang kuingat hanyalah pelukan hangat itu sebagai penanda terakhir dari pertemuan kita.

 ——–

Aku, adalah seorang kurir yang bertugas mengantarkan barang dan menyampaikan pesan kpadamu. Sebuah pesan telah tertulis untukmu kala itu, dan harus segera disampaikan. Di kala itu, aku juga adalah seorang kepercayaan yang bertugas untuk menjaga dan melindungimu dari segala perih yang mungkin akan melandamu. Aku bertugas menjadi temanmu. Aku bagi diriku sendiri saat itu adalah seorang perempuan yang sedang berusaha keras melindungi hatiku dari segala cemas dan badai peristiwa yang menimpaku. Aku adalah perempuan yang berdiri kokoh untuk menyembunyikan rapuhnya diriku saat itu. Dan aku adalah perempuan yang tetap tertawa dan menjalankan tugasku sebagai kurir dengan pasti, tanpa harus membicarakan keluh dan kesahku. Aku bertemu kembali denganmu, dengan segala pesan dan benda yang kubawa untukmu, di saat aku sedang berpayah-payah melindungi diriku sendiri, menyimpan ceritaku untuk kudengarkan sendiri. Dan kamu, mengetahui kepayahanku tanpa aku bercerita padamu. Kamu seperti menjelma menjadi kakak lelaki pelindung yang selalu kuimpikan sejak kecil. Namun makna kehadiranmu bagiku kemudian terus berkembang.

Kamu, adalah seorang lelaki yang kepadamu harus kuserahkan kembali beberapa benda milikmu dari seseorang di masa lalumu. Kamu adalah seseorang yang aku ditugaskan untuk menjadi teman bercakapmu, supaya kamu merasa lebih baik. Padahal mungkin kamu sendiri merasa baik-baik saja. Kamu di kala itu, sedang menikmati kehidupanmu yang kau ciptakan setelah momen peristiwa masa lalumu yang meruntuhkanmu dengannya. Kamu bangkit, dengan segala baik dan burukmu. Masa lalumu yang mengantarkanku ke hadapanmu. Kamu kala itu, terus saja tertawa dan mengajarkanku untuk ikut tertawa juga di antara rasa pedih yang diam-diam sedang menyelubungiku. Menertawakan hidup dan menghidupkan hidup dengan segala cara pandang penuh semangat tawa. Bagiku kala itu, kamu adalah kakak lelakiku seperti peranmu yang selama ini sebelumnya ada. Dan bagimu kala itu, aku adalah seorang adik yang harus kamu jaga. Namun, makna kehadiranku bagimu pun kemudian terus berkembang.

 **

Kita adalah percakapan.

Percakapan yang terjalin dari masa lalumu dan masa kiniku.

Percakapan yang membangkitkan segala rasa dan usaha untuk menjadi lebih baik.

Percakapan yang harus dibatasi untuk menjaga tempat kita berdiri agar tak terlewat batas.

Percakapan yang harus diakhiri dengan apapun perasaan yang tercipta dan tumbuh di dalamnya.

…..tersenyum menangis ketika bercakap tentangmu, masih saja…..

Sherpy, 02.12.11

One Comment

  • budi

    seperti sebuah rasa sakit tentang sebuah kenangan yang terbangun dalam masa lalu, sesuatu yang ingin ku lupakan dan ku hapus..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *