berbagi kata

  • Demi Hari Blogger Nasional, ‘man!

    Dari tadi sore saya nongkrong di kafe Awor, Yap Square, Jogja. Sekarang pukul 8 malam. Dan saya nongkrong dari pukul 4 sore. Tadinya, saya mau duduk, buka laptop, minum kopi ( saya baru-baru saja jadi peminum kopi. Tentang ini, nanti ada ceritanya sendiri deh ya), menulis untuk blog, memindah foto dari kamera ke laptop, kemudian mengaplod foto-foto itu. Intinya, nongkrong sambil intensif bekerja produktif. Hal yang sudah lama tidak saya lakukan sejak saya menyelesaikan skripsi saya 3 tahun lalu.

    Kemudian, hal yang terjadi dalam 4 jam ini adalah saya bertemu dan ngobrol bergiliran pun bersamaan dengan 4 orang yang berbeda. Macak ngendon dan bergiliran didatangi klien-klien. *halah*

    Orang pertama yang jadi teman kencan saya adalah Utied. Awalnya saya sebenernya cuma tanya kafe mana yang enak buat nongkrong, dengan syarat: tempat duduknya enak, internetnya oke, dan menunya oke. Syarat yang spesifik. :D Saran pertama ada di Lokal dan Black Canyon. Terus saya ngajakin dia ikut nongkrong. Doski (doskiiiii) ngajak ke Excelso, yang mana saya lagi enggak mampu buat jajan jajan di sana. Mahal dan akhir bulan je. Maka terdamparlah kami di Awor. Saya bukan anak nongkrong. Lama ndak jadi anak nongkronglah pokoknya. Sama Utied ini cuma ngobrol dikiiiiit meskipun kami dua makhluk yang lama nggak ketemu. Utied cerita bakal jadi pembicara di acara Pinasthika  tanggal 31 ini dengan tema komunitas (online) bersama Ardhi, bapak komunitas di Jogja. Sayangnya saya enggak bisa datang, rencananya sih tanggal segitu saya mau meninggalkan Jogja dulu sementara, ke ibukota. Selain obrolan itu, selebihnya kami sibuk sendiri-sendiri. Dasar anak jaman sekarang, sibuk sama gadget dan laptopnya padahal lagi duduk barengan. Hahaha… Eh, tapi, saya seneng ketemu sama Utied tadi. Semacam ada perasaan senang karena ada yang menemani meskipun tanpa banyak ngobrol *^^* Terima kasih Utieeed!

  • …#CeritaKita: Kamu dan Aku…

    Satu momen pertemuan kita kembali di persimpangan jalan itu membangkitkan semua kenangan dan rasa yang diam-diam tersembunyi jauh di dalam. Satu momen pertemuan yang hanya beberapa detik kita berkesempatan saling menatap, tersenyum, dan berbicara kata-kata. Satu momen pertemuan yang berjarak oleh meter jalanan dan roda dua di antaranya.

    Kamu…dan aku. Kita berdua adalah sebuah ikatan peristiwa yang tak diharapkan akan terjadi. Kita saling bicara melalui sebuah waktu yang tak terduga akan ada. Kita adalah sebuah percakapan yang terjalin dari kalimat awalan yang mendadak harus muncul.

     **

    Pagi beberapa bulan yang lalu. Saat itu,  kita berdua menyusuri jalanan sehabis sarapan di warung soto langganan kita. Entah mau ke mana kita akan menuju dengan perut yang sudah terisi cukup itu. Seperti biasa, kamu duduk di belakang setir, dan aku berada di sampingmu. Ya, kamu adalah tipe lelaki yang selalu tidak pernah mau diusik tentang kejantanannya untuk menyetir mobil ketika bersama perempuan. Bagimu, memegang setir adalah salah satu syarat ‘lelaki’ menjadi ‘lelaki’ di hadapan perempuan. Dan aku selalu tertawa kecil untuk itu.

    Tangan kita saling menggenggam erat. Sesekali kita saling menatap dengan senyuman dan sendu. Mungkin saat itu sebenarnya mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di benak kita: beginikah? Apakah kita memang sebaiknya tidak bertemu lagi? Apakah sebaiknya memang percakapan harus disudahi sekarang juga? Apakah kedaan akan membaik? Apakah akan semakin buruk?

    Atau, jangan-jangan saat itu kita sudah merasa bahwa memang ini adalah sebuah momen perjalanan terakhir kita.

    Sepanjang jalan, kita berbicara tentang aku dan kamu. Kamu berbicara padaku, bahwa kamu menemukan dirimu yang menjadi sedikit berperasaan manusia lagi. Bersamaku, kamu merasa bahwa ternyata kamu tak benar-benar telah berubah menjadi monster sepenuhnya. Seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bahwa kamu tak lagi memilih untuk berperasaan. Kamu menjalani hidup dengan bekerja dan bersenang-senang. Dengan kedua hal itu, kamu tak lagi memberi kesempatan untuk dirimu merasakan sakit ataupun sedih. Dan kini, kamu bisa merasakan hatimu lagi.

    Kita terus saling menggenggam hangat. Aku tersenyum mendengarkanmu. Lalu, aku ganti berbicara padamu, bagaimana semua ini tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku bercerita mengenai keadaan yang tak lagi berpihak padaku, bagaimana aku merasa berada di sisi yang bersalah bagi semuanya yang melihat percakapan kita. Bagaimana aku berharap keadaan akan membaik untuk semuanya. Bagaimana aku menyayangi dan selalu ingin menjaga sosok seseorang di masa lalumu. Dan kataku berujung pada kebingunganku sendiri. Entahlah. Aku terdiam. Namun hatiku terus berbicara, mengungkapkan segala pengakuan bahwa aku telah menjadi lebih baik ketika bersamamu. Bagiku, kebersamaan kita membuat kita belajar untuk menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri, dan terhadap satu sama lain.

    Kendaraan kita membelok di jalan kecil menuju tempatmu tinggal. Kali ini kamu tak  mengarahkannya menuju halaman, namun berhenti di depannya. Tanganmu mempererat genggamannya. Sebuah pelukan erat dan tak ingin terlepas menyusul kemudian. Sepintas, aku seperti melihat matamu yang berkaca-kaca, juga raut wajahmu yang surut dalam luka dan duka. Namun kamu berhasil dengan gesit menyembunyikannya, menggantinya dengan tawa dan canda. Seperti biasa, kamu mengalihkan semua duniamu dalam rasa ‘senang’.

    Aku mengambil alih kemudi mobil. Kulambaikan tanganmu meninggalkanmu, seolah hari akan berjalan biasa, dan kita akan bertemu lagi malam nanti atau esok hari. Namun tidak, kita tak pernah lagi bertemu setelahnya. Yang kuingat hanyalah pelukan hangat itu sebagai penanda terakhir dari pertemuan kita.

     ——–

    Aku, adalah seorang kurir yang bertugas mengantarkan barang dan menyampaikan pesan kpadamu. Sebuah pesan telah tertulis untukmu kala itu, dan harus segera disampaikan. Di kala itu, aku juga adalah seorang kepercayaan yang bertugas untuk menjaga dan melindungimu dari segala perih yang mungkin akan melandamu. Aku bertugas menjadi temanmu. Aku bagi diriku sendiri saat itu adalah seorang perempuan yang sedang berusaha keras melindungi hatiku dari segala cemas dan badai peristiwa yang menimpaku. Aku adalah perempuan yang berdiri kokoh untuk menyembunyikan rapuhnya diriku saat itu. Dan aku adalah perempuan yang tetap tertawa dan menjalankan tugasku sebagai kurir dengan pasti, tanpa harus membicarakan keluh dan kesahku. Aku bertemu kembali denganmu, dengan segala pesan dan benda yang kubawa untukmu, di saat aku sedang berpayah-payah melindungi diriku sendiri, menyimpan ceritaku untuk kudengarkan sendiri. Dan kamu, mengetahui kepayahanku tanpa aku bercerita padamu. Kamu seperti menjelma menjadi kakak lelaki pelindung yang selalu kuimpikan sejak kecil. Namun makna kehadiranmu bagiku kemudian terus berkembang.

    Kamu, adalah seorang lelaki yang kepadamu harus kuserahkan kembali beberapa benda milikmu dari seseorang di masa lalumu. Kamu adalah seseorang yang aku ditugaskan untuk menjadi teman bercakapmu, supaya kamu merasa lebih baik. Padahal mungkin kamu sendiri merasa baik-baik saja. Kamu di kala itu, sedang menikmati kehidupanmu yang kau ciptakan setelah momen peristiwa masa lalumu yang meruntuhkanmu dengannya. Kamu bangkit, dengan segala baik dan burukmu. Masa lalumu yang mengantarkanku ke hadapanmu. Kamu kala itu, terus saja tertawa dan mengajarkanku untuk ikut tertawa juga di antara rasa pedih yang diam-diam sedang menyelubungiku. Menertawakan hidup dan menghidupkan hidup dengan segala cara pandang penuh semangat tawa. Bagiku kala itu, kamu adalah kakak lelakiku seperti peranmu yang selama ini sebelumnya ada. Dan bagimu kala itu, aku adalah seorang adik yang harus kamu jaga. Namun, makna kehadiranku bagimu pun kemudian terus berkembang.

     **

    Kita adalah percakapan.

    Percakapan yang terjalin dari masa lalumu dan masa kiniku.

    Percakapan yang membangkitkan segala rasa dan usaha untuk menjadi lebih baik.

    Percakapan yang harus dibatasi untuk menjaga tempat kita berdiri agar tak terlewat batas.

    Percakapan yang harus diakhiri dengan apapun perasaan yang tercipta dan tumbuh di dalamnya.

    …..tersenyum menangis ketika bercakap tentangmu, masih saja…..

    Sherpy, 02.12.11

  • Buyung-Buyung di Tepian Kereta

    buyung-kereta2

    “Oommm….minta uangnya omm…
    Kasih uangnya, om, buat jajan…..”

    Suara-suara memelas itu menggelora begitu besar di luar jendela.
    Ada ketukan-ketukan memecah yang ikut pula mengiringi erangan-erangan kecil itu.
    Sang buyung yang ada di kursi dekat emaknya melesat rasa penasaran ingin melihat apa yang ada di luaran sana.
    Buyung mengernyit bingung melihat banyaknya teman-teman sepantarannya. Dalam kernyitnya, Buyung bertanya pada emaknya,,

    “Mak, itu siapa?”

    Belum lagi terjawab pertanyaan kernyitnya tersebut, Buyung melompat kaget mendengar kaca jendela kursinya tergedam cukup keras.

    “Minta uangnya oom…”

    Buyung mendekat jendela, melihat salah satu dari mereka memelas di luarnya, setelah menghantamnya dengan tangan yang sama kecil dengan miliknya.

    “Mak, mereka ngapain?”

    Emak tak kunjung menjawab.

    Buyung mundur mengejang, melihat ada yang maju dan menggedor jendela dengan hentakan keras. Dilihatnya semakin banyak saja yang berteriak-teriak sama di sana.

    “Mak, mereka nggak dimarahin sama emaknya ya deket-deket rel kereta api?
    Apa emaknya nggak takut mereka ditabrak kereta api ya, mak?
    Rumah mereka di mana ya, mak?
    Kok mereka minta uang buat jajan, mak?
    Emang mereka gak dikasih uang jajan sama maknya, ya mak?” ,

    pertanyaan Buyung terus meluncur seperti laju kereta kesukaannya yang ia naiki saat ini.

    Buyung melihat ada yang berlarian dari sawah, berdiri di atas rel, sejajar dengan kereta apinya. Semakin bingunglah nampak di raut mukanya, melihat saking banyaknya teman pantarannya.

    Tiba-tiba badan Buyung bergerak doyong sendiri, hampir jatuh. Rupanya sang masinis telah menggerakkan si kereta. Buyung pun pasrah tetap menyimpan kernyitnya, sambil memandangi teman-teman pantarannya berteriak semakin keras di luar sana sembari berlari, seperti mengejar jendelanya.

    Sang Buyung duduk diam.
    Diam benar-benar diam.
    Otaknya seperti berkerut-kerut mencari jawaban.
    “Mungkin tadi mereka lagi main-main. Tapi, main apa ya?”, batin Buyung dalam hati.

    Kereta terus melaju.
    Dan Buyung pun tetap berpikir membisu.

  • Kisah sebuah bunga….

    flower

    “Dan bunga itu menangis.
    Menangis karena tahu takkan pernah dibawa pulang oleh sang tuan penjaganya.
    Sudah ada sebuah bunga cantik yang selalu siap menyambut di rumah sang penjaga itu.
    Bunga cantik yang telah menemani bertahun-tahun, memberikan wangi dalam setiap ruang di rumah  itu….”

    Ini adalah kisah tentang sebuah bunga.
    Bunga yang berada di taman, di kebun, di pinggir jalan..

    Suatu hari, ada seseorang yang dengan senang hati ingin merawat bunga itu. Setiap saat ia memiliki waktu, maka ia akan menyirami bunga itu. Kadang dengan air, kadang hanya dengan sapaan saja. Mencium wanginya. Bunga itu menyebutnya, Sang Tuan Penjaga. Karena telah menjaganya dan merawatnya dengan penuh kasih, padahal ia tidak tumbuh di halaman rumahnya.

    Bunga itu pun tumbuh dan terus tumbuh,,dan selalu menunggu kedatangan sang tuan penjaga.
    Kadang ia menahan hausnya, karena sang tuan penjaga sedang sibuk dengan kehidupannya, sehingga tak ada waktu untuk menyiraminya dengan air. Tapi bunga itu tetap senang, meskipun menyimpan sedih, mendengar sapaan sang tuan penjaga.

    Bunga itu kian mekar tiap harinya.
    Dan berharap sang tuan penjaganya berkenan membawa ia pulang ke rumahnya, supaya ia bisa lebih sering berdekatan dengan sang tuan penjaga. Supaya ia bisa menebarkan wangi kelopaknya di setiap hari sang tuan.
    Tapi ia pun tahu, bahwa di rumah sang tuan itu, sudah penuh dengan bunga.  Karena itulah sang tuan menghampiri, merawat, dan menyapanya di luar. Tak mungkin ada tempat lagi untuknya.

    Bunga itu pun akhirnya tetap berada di tempatnya.
    Menunggu kedatangan sang tuan penjaganya, setiap tetesan air siramannya, tiap sapaannya, tiap sentuhannya, dan ketika ia mencium wangi kelopaknya.

    Bunga itu pun tetap berdiam.
    Menunggu terpetik saja, terinjak, atau tergilas kendaraan.

    ps: gambar diambil dari sinih