cermin fiksi mini

…Lelaki itu…

Semakin salut dengan lelaki itu.

Tawanya pecah terdengar ketika aku baru saja menempatkan kereta bermotorku di pinggir jauh. Tak yakin tawa itu dari mulutnya, dan tak berani memastikan lewat mata secara langsung dari jauh, aku menenangkan diri di balik kereta mesin berbak belakang, sembari melepas segala atribut jalan. Kudengar lagi tawa itu bersambut. Dan kupastikan itu adalah suara yang kukenal, yang ada ketika nama dengan emoticon penuh senyum muncul di layar telepon genggamku. Segala kegelisahan yang terbawa sejak kudengar kabar duka itu, di perjalanan penuh dzikir yang kulantunkan hingga tempat duka kucapai, rasanya menjadi terlihat bodoh bagi diriku sendiri, namun sekaligus terbawa arus kelegaan.

Aku melihatnya di sana. Dengan sikap seperti biasanya. Kecakapan menangani hal-hal di lapangan, tetap muncul ketika harus melakukan segala persiapan untuk pemakaman esok hari. Bersama beberapa yang aku juga mengenalnya sebagai teman-teman dekatnya, sesekali ia tertawa.

Aku kemudian mendekatinya. Setelah mendekati beberapa kawan yang kukenal bersamaan dengannya. Kupanggil namanya dengan senyum tulus yang kupersiapkan hanya untuknya. Akhirnya tangan ini dan tangannya bertemu dalam satu genggaman singkat, diiringi dengan pertanyaan-pertanyaan singkat yang basi tapi penuh kesungguhan ingin terlontar dariku. Sebuah penjelasan singkat yang terdengar seperti biasanya ketika ia menjelaskan hal-hal yang kutanyakan padanya ketika kesempatan langka untuk bisa bersamanya datang.

Aku semakin kagum padanya.
              Dan kini juga pada adik-adiknya, keluarganya.
 

Tidak ada tangis berlebih. Semua seolah memperlihatkan keikhlasan dan pengertian yang tinggi, bahwa tak ada yang perlu ditangisi berlebihan. Hanya doa yang utama perlu disajikan. Senyum yang tetap terpancar, dan ucapan terima kasih bagi mereka yang datang.

Mungkin sebenarnya ada pedih di hati mereka. Ada kehilangan yang membuat lubang lebar menganga. Tapi mungkin mereka telah dididik dengan baik, bahwa segala sesuatu akan kembali pada-Nya.

Aku semakin berharap suatu saat akan mendampinginya.  
            Dan menjadi bagian dari keluarga ini.
                           Yang sederhana, dan tampak bersahaja. Bagiku. Di mataku.

 

Melihatnya yang begitu tenang, tapi tak menyembunyikan segala kekhidmatan demi prosesi terakhir baktinya terhadap sang ayah, membuatku tetap bertahan di sana. Seolah berharap ia tahu aku selalu dan akan ada untuknya.  Dan harapan yang berbisik lembut di hatiku ini membuatku tegar mengikuti keseluruhan prosesi pemakaman, hingga ke bagian yang mendetail dan memperlihatkan secara telanjang mata.

Kekuatanku untuk mempesona lelaki selalu melemah di depannya.                  
          Tak berkutik, bahkan seperti pecundang.

 

Ia selalu membuatku berpikir berkali-kali lipat untuk menemui atau bahkan mengatakan sesuatu sekalipun padanya. Semua menjadikanku merasa salah tingkah. Aneh. Dan kini ketika ia dalam berduka, aku pun berduka, ikut melantunkan segala doa.

Dan tetap mencuri-curi, memandangnya, dengan senyuman dari hati.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *