Uncategorized

Musisi Keliling, Pintu Rumah, dan Jiwa yang Menyanyi

Bonifazi, Adriano (1858-1914) – Man Singing And Playing Guitar

Kapan terakhir kali kamu bernyanyi  karena “hanya ingin menyanyi”?

Kapan terakhir kali kamu melakukan sesuatu hanya karena kamu ingin melakukannya?Tanpa alasan yang lain.

Tulisan ini muncul karena siang ini saya bertemu dengan seorang pria yang memetik gitarnya di depan rumah saya yang pintunya tertutup rapat sebelum Ia sampai di depannya.

Saya sedang berbaring menikmati televisi dan film yang sedang ditayangkannya. Kemudian saya mendengar suara orang bernyanyi di bawah sana, di luar sana. Di menit-menit pertama, saya tak acuh. Saya tahu pintu rumah tertutup rapat, yang bagi banyak orang bisa diartikan bahwa rumah sedang tidak berpenghuni. Ide itu membuat saya yakin bahwa suara nyanyian itu tidak mungkin ada di depan pintu rumah saya.

Di menit berikutnya, saya mulai mendengarkan suara itu dengan lebih seksama. Selain karena perasaan heran bahwa pemilik suara itu belum berhenti bernyanyi, saya kemudian sadar bahwa si empu suara ini cukup baik menyanyikan lagu yang ia lantunkan dengan gitar yang dipetiknya. Saya mulai menikmatinya.

Saya selalu (ah, ralat, mari kita sebut saja: “biasanya”) membedakan musisi keliling dalam dua kategori. Pertama, mereka yang menganggap musik dan lagu hanya sekedar alat untuk mendapatkan uang. Mereka tidak akan pernah peduli pilihan lagu yang mereka nyanyikan, atau seberapa menyebalkannya cara mereka memainkan alat musik yang lebih terlihat enggak niat daripada enggak mahir. Mereka yang berada dalam kategori ini, biasanya mlipir dan ngloyor gitu aja setelah uang menyentuh tangan mereka. Kategori kedua, tentu saja sebaliknya, mereka yang mengapresiasi menyanyi sebagai cara untuk mencari uang. Tujuannya tetap sama, mereka ingin mendapatkan nafkah, atau sekedar “uang rokok”, dengan cara menyanyi. Bedanya adalah bagaimana mereka mengapresiasi apa yang mereka lakukan dengan baik. Menyelesaikan lagu yang dinyanyikan, melantunkannya dengan iringan petikan atau genjrengan gitarnya yang meskipun sederhana dan tidak mahir, tetapi dengan cukup sungguh-sungguh. Ada sedikit niat baik di dalam cara Ia bekerja lewat nyanyian tersebut. Sehingga, bagi pemilik rumah yang mendengarkannya pun memunculkan peng-apresiasi-an yang lebih baik. Iya nggak, sih? 

Mereka di dalam kedua kategori tersebut, sebagai musisi keliling rumahan (maksudnya, musisi yang keliling dari satu rumah ke rumah lainnya), sepertinya tahu dan sadar tentang simbol-simbol “penolakan” bagi diri mereka. Ini juga berlaku bagi setiap penjaja keliling rumahan, sih. Pintu rumah yang tertutup, bisa diartikan bahwa penghuni rumah sedang tidak ada di dalam, atau, sebenarnya ada di dalam, tapi sedang tidak mau diganggu. Mereka akan melewati rumah-rumah tersebut, tidak mau menyia-nyiakan energinya untuk bernyanyi, yang hasilnya dapat dipastikan, tidak akan menerima uang sepeserpun di depan rumah yang pintunya tertutup. Coba saya tanya, berapa kali anda pernah melakukan hal ini: mendengar lamat-lamat ada suara musisi keliling, tampaknya ada di jarak beberapa rumah dari rumah kalian atau bahkan di rumah tetangga sebelah, dan kemudian kalian buru-buru menutup pintu rumah kalian, supaya dianggap sedang kosong dan akhirnya dilewati begitu saja oleh mereka. Coba, diingat-ingat. Jadi, berapa kali kalian telah melakukannya? :D

Kembali ke peristiwa yang saya temukan tadi. Menit lanjutan dari kesadaran saya mengenai kehadiran si musisi ini, saya jadi penasaran. Yang sudah jelas bagi saya adalah, Ia belum menerima uang dari si pemilik rumah di mana Ia menyanyi, karena saya belum mendengar adanya jeda nyanyian dan suara gitar. (Ketika ada yang memberikan uang, pastinya akan ada jeda permainan untuk proses menerima uang tersebut, bukan? :D ). Rasa penasaran saya ada pada dua hal, di depan rumah tetangga mana Ia bernyanyi, dan bagaimana rupa (bukan wajah lho) si musisi ini. Untuk rasa penasaran saya yang pertama, seperti saya katakan di awal, saya sudah menepis kemungkinan bahwa Ia bernyanyi di depan rumah saya. Ya, tentu saja, karena saya tahu pintu rumah saya tertutup, bahkan sejak sebelum saya dengar ada suara lantunan tersebut.

Untuk rasa penasaran yang kedua, yah, saya punya keyakinan telinga saya cukup peka untuk mendengar bagaimana cara seseorang bernyanyi. Lagu yang dimainkan oleh lelaki ini adalah salah satu lagu dari Ebiet G Ade,  salah satu lagu yang biasa diputar untuk jadi ilustrasi berita bencana di televisi (iya, ini adalah bentuk mlipiran karena saya enggak tahu judul lagu itu. Mbah Gugel? Ah, saya sedang terlalu berhasrat menyelesaikan tulisan ini untuk ngubek-ngubek Mbah Gugel. :D ).  Lelaki ini cukup baik menyanyikannya, dan terdengar cukup sungguh-sungguh. Tapi, kalian enggak akan pernah tahu apakah mereka benar sungguh-sungguh menyanyi tanpa melihat ekspresi wajah si empu suara. Selanjutnya juga, saya jadi menebak-nebak: usianya, perawakannya, penampilannya;  karena muncul berbagai gambaran tentang pemilik suara tersebut di benak saya. Ini yang membuat saya ingin melihat, tak hanya ekspresi wajah, tapi rupa keseluruhan musisi tersebut.

Saya beranjak dari sofa “kasur malas”. Suara gitar dan nyanyian ini cukup keras dan jelas untuk berjarak terlalu jauh dari rumah saya. Paling rumah sebelah, atau rumah depan. Tapi rumah depan itu, milik bapak ibu saya juga, yang saya tahu itupun pasti tertutup pintunya karena penghuninya sedang tidak di rumah. Saya berjalan ke arah tepi lantai dua rumah, untuk memastikan memang Ia tidak di sana. Dan, ternyata Ia di sana! DI DEPAN RUMAH SAYA! Yang pintunya tertutup! UWOOWW!! (yak, saya lebay…hakakak!). Terbersit di benak saya, orang ini memang ngeyel dan ngotot buat ngamen dan minta duit, atau, apa ya?

Sepersekian detik dari kekagetan saya, saya tetap mengapresiasi bahwa sebagai seorang musisi keliling, Ia benar-benar melakukan “pertunjukan”nya dengan baik, bahkan sampai ke tahap ada atau tidak ada penonton. Saya segera turun dan mengambil beberapa lembar uang ribuan, membuka pintu, kemudian menyerahkan uang tersebut di tengah nyanyiannya. Maaf ya, pak, saya menginterupsi pertunjukan bapak. Pria tengah baya itu menerimanya, mengucapkan terima kasih dan beberapa doa untuk kemuliaan dan kesejahteraan saya, memasukkan uang itu ke lubang gitar akustiknya, dan kemudian meneruskan lantunannya. Saya mengucapkan terima kasih, masuk ke dalam rumah, menutup pintu, tapi tidak langsung beranjak menjauh. Sebaliknya, saya diam-diam mengamati lelaki itu yang sedang menyelesaikan satu lagu nyanyiannya. Hati saya bungah dan terbitlah sebuah senyuman lirih di wajah saya, melihat lelaki itu bernyanyi. Dari balik jendela, saya menyaksikan wajahnya yang bernyanyi sembari memejamkan mata, menikmati setiap kata, dan seolah meresapinya. Kedua tangannya memainkan gitar, mengiringi tiap nada yang muncul dari suaranya. Itu adalah pemandangan yang indah dan menyentuh bagi saya. Sebuah jiwa yang sedang menyanyi.

Nah, kehadiran lelaki penyanyi sekaligus pemetik gitar di depan rumah saya tadi, memunculkan kategori baru bagi saya untuk para musisi keliling ini. Lelaki ini,  di mata saya, pada momen itu, adalah seorang musisi yang seperti sejatinya ingin bermusik, melalui nyanyian dan permainan gitar, tanpa peduli ada penonton atau tidak. Dan uang, adalah timbal balik yang bekerja sebagai sebuah efek, sebuah reaksi. Caranya menghayati lagu yang Ia lantunkan, akan menggetarkan bagi mereka yang sungguh-sungguh mendengarkan, karena Ia membawa jiwa di dalamnya.

Lelaki itu, sang musisi keliling rumahan, telah membawa saya dalam ingatan mengenai diri sendiri. Bagaimana dulu saya menikmati lagu, menyanyikannya, hanya karena ingin menyanyikannya. Sebagai sebuah suara hati, kata orang. Entah untuk menemani rasa takut, rasa sedih, ataupun rasa senang saya. Dan perasaan nikmat itu ternyata semakin menipis, menguap karena menyanyi kemudian tidak lagi hanya sekedar bernyayi tapi telah bergeser sebagai sebuah komoditas atas eksistensi ataupun renumerasi. Ah, saat ini juga, saya tahu, saya selalu rindu menyanyi. Menyanyi yang “hanya” menyanyi.

 Lelaki itu telah beranjak dari depan rumah saya. Terdengar suaranya di jarak beberapa rumah. Ia sudah selesai melaksanakan tugasnya di depan rumah saya tadi. Saya ingat bagimana kemudian Ia membungkuk sembari sekali lagi mengucapkan terima kasih dan memanjatkan puji dan doa bagi saya, yang sudah tidak berada di depannya lagi, yang bersembunyi dan memandang dari balik jendela. Saya diam-diam bertepuk tangan. Karena bagi saya, Ia telah menyelesaikan sebuah pertunjukan kecil dengan sangat baik, di depan rumah saya. Ada, dan tidak ada penonton. Saya tersenyum, melangkah ke tangga, menuju ke kamar. Kemudian, membuka halaman kosong, dan menuliskan kisah ini. :)

Ps: Akhirnya saya ngubek-ngubek Mbah Gugel selesai menulis ini, dan menemukan judul lagu yang dinyanyikan musisi keliling tadi. Judulnya, “Berita kepada Kawan”. ;)

2 Comments

  • goop

    di Bengkulu pernah kudengar seorang pengamen yang memainkan semacam lagu pesisir. Di sana ada pantai namanya Pantai Panjang, lagu itu seperti membawa pendengarnya ke pinggir pantai, kendati saat itu kami berada di warung aceh. hehehe
    Temanku sampai bingung, kenapa aku begitu konsentrasi mendengarkan, barangkali mereka tak paham apa yang kurasakan akibat lagu yang dimainkan itu.
    Selesai bernyanyi dan berhenti memainkan gitarnya, kutanya apa lagu yang baru saja dimainkannya itu. Dia bilang, itu lagu dari Lampung aslinya. Sampai sekarang, aku lupa apa lagu itu, tapi aku tak lupa bagaimana rasanya mendengarkan lagu itu. :D

  • Mimit

    Aku ingat bahwa pada suatu hari aku berpikir bahwa aku harus berhenti memotret untuk uang. Karena aku menyadari, bahwa foto adalah “separuh aku”. Ia menyelamatkan sebagian ingatan kehidupan yang hilang ditelan lupa. Kau tahu, ketika aku memotret karena kewajiban dan berharap mendapat imbalan itu, bagiku, adalah hal yang kurang menyenangkan. Maka selanjutnya, aku memotret karena aku ingin mengabadikan, tak peduli berapa yang akan masuk tabungan. Karena bagaimanapun aku tidak melabeli diriku dengan nominal, cukup kalimat “saya puas menjadi diri saya”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *